Saat itu sedang hujan,
dimana semak menjadi ribut karena bertemu tetesan air
Gundah gulana hati merindukan bulan
bulan sabit yang tidak mungkin ku jadikan syair
tekad bulat menjadi saksi
untuk meninggalkan bumi
berkelana ke kota sana
mencari belahan jiwa
seperti dugaan,
bumi tidak akan sudi tak kupijak lagi
akar pohon memegangi
seakan terikat pada pertiwi
ah.. semua ini hanya masa lalu
aku ingin pencerahan baru
dimana semua lagu sendu
akan lenyap saat aku dan bulan bertemu
senang bukan kepalang
saat aku bertemu bulan
aku masih sayang bintang
bulan berkata mengagetkan
serontak dada berdetak kencang
mata tersenyum menyembunyikan sendu
mulut tersenyum menyembunyikan kalbu
bibir mengucap, betapa beruntung sang bintang
masih tersembunyi rasa ini
bersama gundah yang baru masuk ke hati
untuk rasa ini aku tak punya nyali
untuk gundah ini aku tak berani
detik-detik berganti hari
mencoba mencari arti dari bahasa hati
apakah akan terus begini
baiknya kusimpan saja, sampai ke peti mati
dari kejauhan ku merenungkan dua hati
bijak pikir menerka-nerka tanpa membuka mata
karena tidak mungkin turun kembali ke bumi
biarlah ku hilang di semesta
sempat terlintas di benak, aku kalah dalam berkelana
bukan kalah dalam bertempur, bingung apa yang mesti kuperangi
dengan tersenyum aku berkata dengan pura-pura bijaksana
bulan tetaplah disini, ku kan berkelana mencari pelangi
Andi Setiawan – 3/3/2011
Posted in Cerpen, puisi, sedih, umum |